Korupsi
di Kepolisian
Kepolisian merupakan
lembaga dengan tingkat korup tertinggi di Indonesia. Hal itu telah dibuktikan
dengan survei Global Corruption Barometer (GBC) 2013 oleh Transparency
International (TI). Banyak kasus korupsi yang telah terjadi di lembaga pengayom
masyarakat ini. Beberapa waktu lalu ramai diberitakan di beberapa media
mengenai makelar kasus atau mafia hukum yang melibatkan KOMJEN Pol Susno
Duadji. Setelah membuat pernyataan kontroversial tentang ''Cicak Melawan
Buaya'' dan dicopot sebagai kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim)
Polri, perwira nonjob berbintang tiga itu mendatangi Satgas Pemberantasan Mafia
Hukum. Dia membeberkan informasi mengenai adanya makelar kasus pajak di tubuh
Mabes Polri.
Fenomena mafia hukum dan
korupsi yang terjadi di lingkungan kepolisian sesungguhnya bukanlah hal baru
dan sudah menjadi rahasia umum. Bahkan, sebelum adanya pernyataaan Susno,
kondisi itu juga diakui kalangan internal kepolisian. Hal itu bisa dilihat dari
hasil penelitian mengenai praktik korupsi di kepolisian yang dilakukan oleh
mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) angkatan 39-A pada 2004.
Berdasar hasil penelitian
calon perwira polisi tersebut, korupsi di kepolisian dibagi dalam korupsi
internal dan korupsi eksternal. Korupsi internal adalah korupsi yang tak
melibatkan masyarakat di luar komunitas polisi. Contoh yang sering terjadi
adalah jual beli jabatan, korupsi pada proses perekrutan anggota kepolisian,
pendistribusian logistik, dan penyaluran anggaran kepolisian. Korupsi jenis
kedua adalah korupsi eksternal yang langsung melibatkan kepentingan masyarakat.
Korupsi semacam itu terjadi dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan
penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan penyalahgunaan wewenang.
Tidak berbeda dengan yang
dilakukan mahasiswa PTIK, sebelumnya pada 2001 penelitian Indonesia Corruption
Watch (ICW) mengenai pengurusan surat izin mengemudi dan pola-pola korupsi di
lingkungan peradilan, khususnya di kepolisian, menyimpulkan bahwa korupsi di
korps Bhayangkara bukan isapan jempol belaka. Berdasar hasil penelitian ICW di
enam kota besar di Indonesia, korupsi yang dilakukan anggota polisi biasanya
terjadi pada penyelidikan dan penyidikan suatu kasus. Permintaan uang jasa,
penggelapan kasus, negosiasi kasus, dan pemerasan merupakan pola yang umum
dilakukan anggota kepolisian.
Contoh korupsi yang marak
beberapa waktu lalu adalah kasus simulator SIM. Meskipun sudah sedemikian
marak, namun hanya sedikit aktor mafia hukum dari kepolisian yang terungkap dan
diproses ke pengadilan. Mereka yang pernah diproses hukum hingga ke pengadilan,
antara lain, mantan Kabareskrim Kepolisian Komjen Pol Suyitno Landung dan
Brigjen Pol Samuel Ismoko yang tersandung kasus suap dari pelaku pembobolan BNI
sebesar Rp 1,7 triliun serta AKP Suparman, penyidik kepolisian yang diduga
memeras saksi dalam kasus korupsi.
Dalam banyak kasus, setiap
pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian diselesaikan di Komisi Kode Etik
dan Profesi Kepolisian. Namun, kenyataannya, sidang komisi itu sering memberikan
keistimewaan kepada pelaku dengan menurunkan derajat pelanggaran yang
seharusnya dapat dipidana menjadi sebatas pelanggaran administratif. Masih
adanya tindakan menerima suap atau korupsi yang dilakukan oleh oknum anggota
Polri tidak lepas dari minimnya anggaran yang diberikan negara kepada institusi
Polri.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menjelaskan anggaran Polri
mencapai Rp7 triliun dan 60 persen anggaran digunakan untuk gaji bagi lebih
dari 43 ribu anggota Polri. Anggaran 25 persen hingga 30 persen untuk pengadaan
barang dan alat.
"Struktur anggaran tersebut membuat ada potensi terjadinya
korupsi di tubuh Polri. Anggaran operasional sebesar 20 persen hanya cukup
untuk di Mabes Polri. Untuk di Polda sudah pas-pasan, di Polres kurang dan di
Polsek lebih kurang," katanya di Yogyakarta, Rabu 26 April 2017.
Tito mengaku biaya operasional yang ada saat ini masih kecil
dibandingkan dengan perkara yang harus ditangani Polri. Indek penanganan kasus
terbagi menjadi kasus sangat sulit, sulit, sedang dan ringan. Untuk kasus
sangat sulit, anggaran per kasusnya Rp 70 juta. Padahal untuk kasus seperti bom
meledak butuh miliaran untuk penanganannya.
"Biaya penanganan kasus itu bisa mencapai miliaran
seperti kasus peledakan bom," katanya.
Tito mencontohkan bahwa ada pemeo di masyarakat bahwa warga
kehilangan ayam lapor ke polisi justru jadi kehilangan kambing. Tetapi, lanjut
Tito, pemeo itu masih ada sambungannya yaitu warga kehilangan ayam lapor ke
polisi justru kehilangan kambing, tapi polisi justru kehilangan sapi.
"Contoh ya di DIY (Yogyakarta) misalnya ada kasus
pembunuhan besar. Anggarannya cuma Rp 70 juta. Padahal permintaan masyarakat
untuk mengungkap kasus itu tinggi. Sedangkan untuk mengungkap kasus dibutuhkan
lebih dari Rp 70 juta. Kapolda harus cari uang kiri kanan untuk mengungkap
kasus bahkan harus keluar gajinya. Lha ini polisi malah kehilangan sapi,"
ujarnya.
Lebih jauh mantan Kapolda Metro Jaya ini mengatakan bahwa
dirinya menginginkan penganggaran seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Model pembiayaan KPK, sambung Tito negara membayar semua anggaran penyelesaian
kasus. Negara akan membayar semua pengeluaran untuk menyelesaikan kasus.
"Ya inginnya seperti KPK. Polri minta negara menanggung
semuanya. Ini pasti akan membantu kinerja kepolisian. Tetapi kan anggaran
negara tidak cukup. Dalam setahun, puluhan ribu kasus bisa ditangani oleh
Polri. Kalau sistemnya sama seperti KPK uang negara tidak cukup. Makanya Polri
menggunakan sistem indeks," harapnya.
Kala itu, Tito diminta melakukan reformasi di tubuh Polri, salah
satu lembaga dengan tingkat kepercayaan masyarakat terendah menurut sejumlah
survei pada 2015.
Kini, setelah 100 hari menjabat, bagaimana perkembangannya?
Wartawan BBC Indonesia, Mehulika Sitepu, mewawancarai Tito Karnavian di Mabes
Polri, Jakarta, hari Selasa (11/10) dan berikut petikannya.
Apa perkembangan selama
menjabat Kapolri?
Saya mendapat informasi
dari beberapa survei, kepercayaan publik kepada Polri cenderung sudah meningkat, memang tidak pada papan
atas, di papan menengah, tapi tidak di bawah seperti dulu.
Salah satu pendorongnya,
menurut beberapa survei, karena figur, harapan yang tinggi kepada Kapolri.
Kedua karena ada perbaikan kinerja, seperti pengungkapan kasus-kasus:
terorisme, penyanderaan dan lain lain. Tapi ada yang belum berhasil sepenuhnya.
Terutama perubahan kultur.
Kultur artinya sikap
arogansi, budaya yang masih korupsi, penggunaan kekerasan eksesif, ini masih
ada. Karena paket-paket kebijakan yang saya buat masih sampai ke tingkat middle manager, belum sampai ke tingkat foot soldiers, rank and file, para pelaksana di lapangan, para bintara. Sehingga mereka belum menyadari
bagaimana pentingnya public trust. 400 ribu orang polisi berbuat
baik, satu anggota saja melakukan kekerasan, naik ke media, itu akan
menghapuskan yang baik-baik tadi semua. Kita terus lakukan sosialisasi dan
lakukan reward and punishment. Seperti
kemarin ada dua direktur narkoba yang kita anggap di pemeriksaan awal ada
penyalahgunaan, saya langsung melakukan video conference dan
saya ambil serah terima di depan saya dan itu seluruh Indonesia memonitor.
Tadi pagi saya
memberi reward ke anggota Polres Bekasi yang berhasil adu
tembak menangkap pelaku perampokan. Saya berikan ticket holder untuk sekolah artinya dia langsung
masuk sekolah tanpa perlu tes. Ini
akan saya lakukan di Polres, Polsek, Polda, yang ada anggotanya berprestasi
tingkat nasional saya akan datang langsung bila perlu ke Papua, NTT dan
pulau-pulau lain. Saya ingin ciptakan iklim kompetisi yang sehat.
Catatan akhir tahun
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menyatakan bahwa penanganan kasus
tindak pidana korupsi oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) lebih 'sepi'
dibanding tahun sebelumnya.
Bila pada 2015 Bareskrim
Polri menangani sebanyak 1.183 kasus, pada tahun ini, badan yang sedang
dipimpin Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto itu hanya menangani 662 kasus.
"Penanganan kasus
korupsi mengalami penurunan sebesar 36 persen," kata Kepala Polri Jenderal
Tito Karnavian saat memaparkan catatan akhir tahun Polri di Markas Besar Polri,
Jakarta Selatan, kemarin.
Ia menjelaskan, dari 662
kasus tindak pidana korupsi yang ditangani, Polri berhasil menyelamatkan
kekayaan negara sebesar Rp165,5 miliar.
Lebih dari itu, Tito
menyampaikan sebanyak 27 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani Bareskrim
Polri merupakan hasil operasi tangkap tangan (OTT). Menurutnya, OTT yang dilakukan
sepanjang 2016 telah menyeret 74 nama sebagai tersangka.
Ia pun memberikan dua
contoh kasus di antaranya. Pertama, Satuan Tugas Gabungan Sapu Bersih Pungutan
Liar menangkap tangan Direktur Operasional dan Pengembangan Bisnis PT Pelindo
III Surabaya berinisial RS, Selasa (1/11).
Uang pungli yang diduga
diterima RS berasal dari importir. Praktik itu dilakukan sejak tahun 2014
dengan pungutan per satu kontainer berkisar Rp500 ribu hingga Rp2 juta. Saat
melakukan penangkapan, tim gabungan Saber Pungli sempat menggeledah ruang kerja
RS dan menyita uang tunai senilai Rp600 juta dan sejumlah dokumen.
Kemudian, Satuan Tugas
Gabungan Sapu Bersih Pungutan Liar Polres Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur
menangkap tangan staf kepegawaian Bagian Umum Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga (PPO) Manggarai Barat berinisal SI, Kamis (3/11).
OTT ini berhasil
mengamankan barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp4,5 juta dan tabungan dengan
saldo sebesar Rp18 juta. "Total
barang bukti uang tunai hasil OTT di 2016 mencapai Rp7 miliar," ujar Tito. Kasus Kekayaan Negara Lainnya.
Lebih dari itu, jenderal
polisi bintang empat itu menyatakan, selain korupsi terdapat tiga kasus
terhadap kekayaan negara lainnya yang menonjol pada 2016, yakni penebangan liar
(illegal logging), penambangan liar (illegal minning), dan pencurian ikan
(illegal fishing).
Tito menyatakan, penebangan
liar menjadi kasus yang paling banyak ditangani Bareskrim Polri di antara
ketiganya, yakni sebanyak 732 kasus. Menurutnya, jumlah kasus penebangan liar
ini juga mengalami penurunan, di mana tahun sebelumnya tercatat sebanyak 1.232
kasus.
Pun dengan penanganan kasus
penambangan liar. Bila pada tahun sebelumnya menangani 593 kasus, tahun ini
Bareskrim Polri hanya menangani sebanyak 448 kasus.
Sedangkan untuk kasus
pencurian ikan, Bareskrim Polri menangani 178 kasus di 2016. "Penanganan
tiga kasus kekayaan negara lainnya yang menonjol ini menurun sekitar 25 sampai
44 persen di 2016," tutur Tito.