kupu-kupu

Selasa, 09 Mei 2017

Koropsi di Badan Polri

Korupsi di Kepolisian
Kepolisian merupakan lembaga dengan tingkat korup tertinggi di Indonesia. Hal itu telah dibuktikan dengan survei Global Corruption Barometer (GBC) 2013 oleh Transparency International (TI). Banyak kasus korupsi yang telah terjadi di lembaga pengayom masyarakat ini. Beberapa waktu lalu ramai diberitakan di beberapa media mengenai makelar kasus atau mafia hukum yang melibatkan KOMJEN Pol Susno Duadji. Setelah membuat pernyataan kontroversial tentang ''Cicak Melawan Buaya'' dan dicopot sebagai kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri, perwira nonjob berbintang tiga itu mendatangi Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Dia membeberkan informasi mengenai adanya makelar kasus pajak di tubuh Mabes Polri.
Fenomena mafia hukum dan korupsi yang terjadi di lingkungan kepolisian sesungguhnya bukanlah hal baru dan sudah menjadi rahasia umum. Bahkan, sebelum adanya pernyataaan Susno, kondisi itu juga diakui kalangan internal kepolisian. Hal itu bisa dilihat dari hasil penelitian mengenai praktik korupsi di kepolisian yang dilakukan oleh mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) angkatan 39-A pada 2004.
Berdasar hasil penelitian calon perwira polisi tersebut, korupsi di kepolisian dibagi dalam korupsi internal dan korupsi eksternal. Korupsi internal adalah korupsi yang tak melibatkan masyarakat di luar komunitas polisi. Contoh yang sering terjadi adalah jual beli jabatan, korupsi pada proses perekrutan anggota kepolisian, pendistribusian logistik, dan penyaluran anggaran kepolisian. Korupsi jenis kedua adalah korupsi eksternal yang langsung melibatkan kepentingan masyarakat. Korupsi semacam itu terjadi dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan penyalahgunaan wewenang.
Tidak berbeda dengan yang dilakukan mahasiswa PTIK, sebelumnya pada 2001 penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai pengurusan surat izin mengemudi dan pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya di kepolisian, menyimpulkan bahwa korupsi di korps Bhayangkara bukan isapan jempol belaka. Berdasar hasil penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia, korupsi yang dilakukan anggota polisi biasanya terjadi pada penyelidikan dan penyidikan suatu kasus. Permintaan uang jasa, penggelapan kasus, negosiasi kasus, dan pemerasan merupakan pola yang umum dilakukan anggota kepolisian.
Contoh korupsi yang marak beberapa waktu lalu adalah kasus simulator SIM. Meskipun sudah sedemikian marak, namun hanya sedikit aktor mafia hukum dari kepolisian yang terungkap dan diproses ke pengadilan. Mereka yang pernah diproses hukum hingga ke pengadilan, antara lain, mantan Kabareskrim Kepolisian Komjen Pol Suyitno Landung dan Brigjen Pol Samuel Ismoko yang tersandung kasus suap dari pelaku pembobolan BNI sebesar Rp 1,7 triliun serta AKP Suparman, penyidik kepolisian yang diduga memeras saksi dalam kasus korupsi.
Dalam banyak kasus, setiap pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian diselesaikan di Komisi Kode Etik dan Profesi Kepolisian. Namun, kenyataannya, sidang komisi itu sering memberikan keistimewaan kepada pelaku dengan menurunkan derajat pelanggaran yang seharusnya dapat dipidana menjadi sebatas pelanggaran administratif. Masih adanya tindakan menerima suap atau korupsi yang dilakukan oleh oknum anggota Polri tidak lepas dari minimnya anggaran yang diberikan negara kepada institusi Polri.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menjelaskan anggaran Polri mencapai Rp7 triliun dan 60 persen anggaran digunakan untuk gaji bagi lebih dari 43 ribu anggota Polri. Anggaran 25 persen hingga 30 persen untuk pengadaan barang dan alat.
"Struktur anggaran tersebut membuat ada potensi terjadinya korupsi di tubuh Polri. Anggaran operasional sebesar 20 persen hanya cukup untuk di Mabes Polri. Untuk di Polda sudah pas-pasan, di Polres kurang dan di Polsek lebih kurang," katanya di Yogyakarta, Rabu 26 April 2017.
Tito mengaku biaya operasional yang ada saat ini masih kecil dibandingkan dengan perkara yang harus ditangani Polri. Indek penanganan kasus terbagi menjadi kasus sangat sulit, sulit, sedang dan ringan. Untuk kasus sangat sulit, anggaran per kasusnya Rp 70 juta. Padahal untuk kasus seperti bom meledak butuh miliaran untuk penanganannya.
"Biaya penanganan kasus itu bisa mencapai miliaran seperti kasus peledakan bom," katanya.
Tito mencontohkan bahwa ada pemeo di masyarakat bahwa warga kehilangan ayam lapor ke polisi justru jadi kehilangan kambing. Tetapi, lanjut Tito, pemeo itu masih ada sambungannya yaitu warga kehilangan ayam lapor ke polisi justru kehilangan kambing, tapi polisi justru kehilangan sapi.
"Contoh ya di DIY (Yogyakarta) misalnya ada kasus pembunuhan besar. Anggarannya cuma Rp 70 juta. Padahal permintaan masyarakat untuk mengungkap kasus itu tinggi. Sedangkan untuk mengungkap kasus dibutuhkan lebih dari Rp 70 juta. Kapolda harus cari uang kiri kanan untuk mengungkap kasus bahkan harus keluar gajinya. Lha ini polisi malah kehilangan sapi," ujarnya.
Lebih jauh mantan Kapolda Metro Jaya ini mengatakan bahwa dirinya menginginkan penganggaran seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Model pembiayaan KPK, sambung Tito negara membayar semua anggaran penyelesaian kasus. Negara akan membayar semua pengeluaran untuk menyelesaikan kasus.
"Ya inginnya seperti KPK. Polri minta negara menanggung semuanya. Ini pasti akan membantu kinerja kepolisian. Tetapi kan anggaran negara tidak cukup. Dalam setahun, puluhan ribu kasus bisa ditangani oleh Polri. Kalau sistemnya sama seperti KPK uang negara tidak cukup. Makanya Polri menggunakan sistem indeks," harapnya.
Kala itu, Tito diminta melakukan reformasi di tubuh Polri, salah satu lembaga dengan tingkat kepercayaan masyarakat terendah menurut sejumlah survei pada 2015.
Kini, setelah 100 hari menjabat, bagaimana perkembangannya? Wartawan BBC Indonesia, Mehulika Sitepu, mewawancarai Tito Karnavian di Mabes Polri, Jakarta, hari Selasa (11/10) dan berikut petikannya.


Apa perkembangan selama menjabat Kapolri?
Saya mendapat informasi dari beberapa survei, kepercayaan publik kepada Polri cenderung sudah meningkat, memang tidak pada papan atas, di papan menengah, tapi tidak di bawah seperti dulu.
Salah satu pendorongnya, menurut beberapa survei, karena figur, harapan yang tinggi kepada Kapolri. Kedua karena ada perbaikan kinerja, seperti pengungkapan kasus-kasus: terorisme, penyanderaan dan lain lain. Tapi ada yang belum berhasil sepenuhnya. Terutama perubahan kultur.
Kultur artinya sikap arogansi, budaya yang masih korupsi, penggunaan kekerasan eksesif, ini masih ada. Karena paket-paket kebijakan yang saya buat masih sampai ke tingkat middle manager, belum sampai ke tingkat foot soldiersrank and file, para pelaksana di lapangan, para bintara. Sehingga mereka belum menyadari bagaimana pentingnya public trust. 400 ribu orang polisi berbuat baik, satu anggota saja melakukan kekerasan, naik ke media, itu akan menghapuskan yang baik-baik tadi semua. Kita terus lakukan sosialisasi dan lakukan reward and punishment. Seperti kemarin ada dua direktur narkoba yang kita anggap di pemeriksaan awal ada penyalahgunaan, saya langsung melakukan video conference dan saya ambil serah terima di depan saya dan itu seluruh Indonesia memonitor.
Tadi pagi saya memberi reward ke anggota Polres Bekasi yang berhasil adu tembak menangkap pelaku perampokan. Saya berikan ticket holder untuk sekolah artinya dia langsung masuk sekolah tanpa perlu tes. Ini akan saya lakukan di Polres, Polsek, Polda, yang ada anggotanya berprestasi tingkat nasional saya akan datang langsung bila perlu ke Papua, NTT dan pulau-pulau lain. Saya ingin ciptakan iklim kompetisi yang sehat.
Catatan akhir tahun Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menyatakan bahwa penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) lebih 'sepi' dibanding tahun sebelumnya.
Bila pada 2015 Bareskrim Polri menangani sebanyak 1.183 kasus, pada tahun ini, badan yang sedang dipimpin Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto itu hanya menangani 662 kasus.
"Penanganan kasus korupsi mengalami penurunan sebesar 36 persen," kata Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian saat memaparkan catatan akhir tahun Polri di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, kemarin.
Ia menjelaskan, dari 662 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani, Polri berhasil menyelamatkan kekayaan negara sebesar Rp165,5 miliar.
Lebih dari itu, Tito menyampaikan sebanyak 27 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani Bareskrim Polri merupakan hasil operasi tangkap tangan (OTT). Menurutnya, OTT yang dilakukan sepanjang 2016 telah menyeret 74 nama sebagai tersangka.
Ia pun memberikan dua contoh kasus di antaranya. Pertama, Satuan Tugas Gabungan Sapu Bersih Pungutan Liar menangkap tangan Direktur Operasional dan Pengembangan Bisnis PT Pelindo III Surabaya berinisial RS, Selasa (1/11).
Uang pungli yang diduga diterima RS berasal dari importir. Praktik itu dilakukan sejak tahun 2014 dengan pungutan per satu kontainer berkisar Rp500 ribu hingga Rp2 juta. Saat melakukan penangkapan, tim gabungan Saber Pungli sempat menggeledah ruang kerja RS dan menyita uang tunai senilai Rp600 juta dan sejumlah dokumen.
Kemudian, Satuan Tugas Gabungan Sapu Bersih Pungutan Liar Polres Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur menangkap tangan staf kepegawaian Bagian Umum Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) Manggarai Barat berinisal SI, Kamis (3/11).
OTT ini berhasil mengamankan barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp4,5 juta dan tabungan dengan saldo sebesar Rp18 juta. "Total barang bukti uang tunai hasil OTT di 2016 mencapai Rp7 miliar," ujar Tito. Kasus Kekayaan Negara Lainnya.
Lebih dari itu, jenderal polisi bintang empat itu menyatakan, selain korupsi terdapat tiga kasus terhadap kekayaan negara lainnya yang menonjol pada 2016, yakni penebangan liar (illegal logging), penambangan liar (illegal minning), dan pencurian ikan (illegal fishing).
Tito menyatakan, penebangan liar menjadi kasus yang paling banyak ditangani Bareskrim Polri di antara ketiganya, yakni sebanyak 732 kasus. Menurutnya, jumlah kasus penebangan liar ini juga mengalami penurunan, di mana tahun sebelumnya tercatat sebanyak 1.232 kasus.
Pun dengan penanganan kasus penambangan liar. Bila pada tahun sebelumnya menangani 593 kasus, tahun ini Bareskrim Polri hanya menangani sebanyak 448 kasus.
Sedangkan untuk kasus pencurian ikan, Bareskrim Polri menangani 178 kasus di 2016. "Penanganan tiga kasus kekayaan negara lainnya yang menonjol ini menurun sekitar 25 sampai 44 persen di 2016," tutur Tito.










0 komentar:

Posting Komentar